Krisis Petani ditengah Konflik Agraria

Gambar : Rektor UMK tengah menyampaikan pandangan terhadap tema "Membangun Kedaulatan Petani di NKRI" dalam dialog publik yang diselenggarakan oleh BEM Universitas .
         
          Berbicara mengenai petani dan segala kebutuhannya, maka fokus masalah tidak terlepas dari beragam konflik mulai dari agraria, sengeketa lahan hingga perhutani. Melalui diskusi publik yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muria Kudus (UMK) (02/04) di R.Seminar Lt IV Gd. rektorat, para tokoh, kelompok tani dan mahasiswa diajak beridalog bersama membahasa tema besar “Membangun Kedaulatan Petani di NKRI”. Acara dimulai pada pukul 09.00 WIB dan dibuka oleh wakil rektor tiga bidang kemahasiswaan yang diwakilkan kepada Sucipto, selaku wakil dekan 1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Terdapat tiga narasumber yang dihadirkan dalam dialog tersebut diantaranya: Kunarto Marzuki, Handoko Wibowo dan Suparnyo rektor UMK.

Foto by peka/online
     Sani Anwar sebagai moderator mengawali dialog dengan menceritakan keresahan petani.Jika berbicara mengenai kedaulatan petani, maka yang dibicarakan akan mengarah pada kemandirian petani itu sendiri. Kemandirian yang dimaskudkan berupa alat pertanian, biaya produksi sampai pada bagaimana hasil dan kelanjutannya. Petani sekarang ini masih dipusingkan dengan menyempitnya lahan yang digarap untuk pertanian. Hilangnya lahan pertanian ini dipengaruhi oleh bebagai faktor salah satunya berdirinya bangunan-bangunan industri. Pihak perusahaan dinilai hanya mementingkan nilai ekonomis tanpa memikirkan nilai ekologisnya, sehingga hal ini berpengaruh pada kesejahteraan petani.” Ungkap Sani.
     “Selain karena faktor  industri, hilangnya tanah untuk lahan pertanian juga dikarenakan bagi waris, kepentingan sosial, pembangunan jalan, jembatan, dll. Kemudian kita sering membatasi petani seperti ketika bahan baku turun semua seolah-olah diam, tetapi ketika harga bahan baku contohnya harga bawang, cabai naik baru protes sehingga petani baru diperhatikan.” Terang Suparnyo ketika memberikan pandangan dalam dialog publik.
       
          Kunarto, salah satu narasumber kala itu menuturkan “Jika kita berbicara mengenai konflik agraria di Indonesia maka tidak akan selesai. Konflik agraria paling banyak terjadi di Jawa Barat, terjadi sejak jaman Belanda sampai sekarang. Lahan pertanian maupun perkebunan yang dulu dieksploitasi dan dimonopoli pihak swasta kemudian gulung tikar, itu akhirnya dikuasi perhutani. Di Jawa Tengah sendiri pernah terjadi konflik dengan perhutani, yaitu daerah Blora-Pati. Tanah di kawasan perbatasan Pati-Jepara, sebagain besar juga milik perhutani” tambah aktivitis pergerakan itu.

Foto by peka/online 
        Hal senada diungkapkan oleh Handoko, tokoh gerakan masyarakat sipil dari Omah Tani. “Konflik tanah di Indonesia ialah warisan yang bikin kesal” katanya. Sejak dulu, banyak petani yang mempunyai keahlian dalam menanam namun tidak memiliki tanah untuk menjadi lahan garapan. Ketika petani merasa kesejahteraan kurang diperhatikan, maka bersuaralah tetapi berkelompok. “Petani bersuara secara indvidual tidak akan didengar negara, tetapi harus membentuk kekuatan perserikatan. Seperti Omah Tani, kami memahami secara hukum dan kebutuhan di lapangan, kami berani menyuarakan hak-hak kami,” jelas pria kelahiran Batang itu.

        Salah satu kelompok tani Karang Bener Kudus, Darjo mengeluhkan semakin sempitnya lahan di Kudus, karna dikuasai industri. “Saya mengharapkan adanya kebijakan yang memperhatikan kelompok tani, paling tidak minimal ada perhatian dari kepala desa. Selama ini kebijakan yang telah dibut tidak sesuai dengan implementasinya. Selain pemerintah sebagai pembuat kebijakan, nantinya mahasiswa sebagai akademisi pun harus turut ikut membantu memberikan pemikiran jalan keluar, langkah kecilnya melakukan penghijauan untuk mengembalikan fungsi lahan dan menjaga mata air mengingat pertanian di Indonesia kini tengah menjadi fokus pembangunan nasional oleh pemerintah.” Tutur Darjo.

IN/Thata